Mukaddimah
Mengingat hadits Dla’if (Lemah) sangat banyak
terpublikasi di tengah masyarakat awam dan bahayanya bagi ‘aqidah serta
keberagamaan mereka, maka kiranya perlu diantisipasi dengan membongkar dan
menyingkap hadits-hadits tersebut serta menjelaskan derajat (kualitas) nya
sehingga umat menjadi melek karenanya.
Salah satu upaya yang patut
diacungi jempol dan mendapat sambutan positif di kalangan ulama Islam
kontemporer, adalah buah karya dari Syaikh al-‘Allamah, Nashiruddin al-Albany
atau yang lebih dikenal dengan Syaikh al-Albany. Yaitu, buku beliau yang
berjudul Silsilah al-Ahâdîts adl-Dla’îfah yang merupakan matarantai
hadits-hadits Dla’if (lemah), yaitu yang dikategorikan Bathil, Tidak ada
dasarnya, Tidak Shahih, Dla’îf Jiddan (Lemah Sekali), Munkar, Mawdlu’ (Palsu).
Dengan dimuatnya hadits-hadits tersebut diharapkan kepada kita agar
menghindari penggunaannya dan mencukupkan diri dengan hadits-hadits yang shahih
saja. Dalam hal ini, Syaikh al-Albany juga menulis buku yang lain yaitu
Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah dimana selain hadits shahih yang dimuat
di dalam kitab ash-Shahîhain (Shahîh al-Bukhary dan Muslim), beliau juga
telah menyaring dan menyeleksi hadits-hadits yang shahih saja di dalam
kitab-kitab selain itu alias as-Sunan al-Arba’ah.
Tentunya,
setiap upaya dan niatan yang baik perlu kita junjung dan sanjung dengan selalu
berdoa agar Allah menerima amal para pencetusnya. Adapun kesalahan dan
kekeliruan, pasti akan ada sebab manusia tidak terlepas dari hal itu, karenanya
pula perlu penyempurnaan lebih lanjut atas upaya-upaya yang telah dirintis oleh
Syaikh al-Albany tersebut.
Dalam penyajian rubrik ini, kami tidak memuat
semua apa yang ditulis dan dipresentasikan oleh Syaikh al-Albany di dalam
bukunya tersebut, sebab akan terlalu panjang, di samping ada hal-hal yang
bersifat teoritis hadits yang kiranya akan menyulitkan bagi orang awam dan
pemula. Tujuan kami di sini, hanyalah ingin mengingatkan dan memberikan wawasan
kepada para pembaca bahwa hadits-hadits tersebut adalah lemah (Dla’if) yang para
ulama sepakat untuk tidak menjadikannya sebagai hujjah dalam agama, kecuali
terkait dengan hadits-hadits Dla’if dalam hal Fadlâ`il al-A’mâl
(amalan-amalan ekstra yang bernilai lebih/utama) yang memang ada di antara para
ulama memberikan persyaratan-persyaratan tertentu untuk mengamalkannya.
Sabtu, 18 Februari 2012
0 Comments
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)