Mukaddimah
Yang dimaksud dengan HADITS MASYHUR disini bukan sebagaimana definisinya di dalam Ilmu Mushthalah Hadits, yaitu hadits yang merupakan bagian dari hadits Ahad dan mata rantai periwayatnya dari jenjang pertama hingga terakhir (pengarang buku) berjumlah 3 sampai 9 orang pada setiap levelnya. Akan tetapi
yang dimaksud disini adalah Hadits-hadits yang
masyhur (tersohor) karena sering diucapkan oleh lisan atau sering didengar,
terutama oleh para penceramah. Alias sudah menjadi buah bibir dan disampaikan
dari mulut ke mulut. Yang dimaksud dengan HADITS MASYHUR disini bukan sebagaimana definisinya di dalam Ilmu Mushthalah Hadits, yaitu hadits yang merupakan bagian dari hadits Ahad dan mata rantai periwayatnya dari jenjang pertama hingga terakhir (pengarang buku) berjumlah 3 sampai 9 orang pada setiap levelnya. Akan tetapi
Dalam hal ini, para ulama banyak yang menulis buku jenis ini karena sangat penting sekali diketahui oleh umat. Hadit-hadits yang ada di dalamnya bervariasi baik dari aspek kualitas maupun tema dimana ia sering dibicarakan orang dan didengar. Masalahnya, ketika seseorang mengucapkannya atau menukilnya, dia seakan mengatasnamakan Rasulullah alias bahwa ia adalah sabda beliau.
Tentu saja, hal ini amat berbahaya bagi umat karenanya para ulama hadits mengantisipasinya dengan mengarang buku jenis ini hingga dapat memudahkan umat di dalam mencari hadits-hadits yang kira-kira sering diucapkan dan didengar tersebut, terkadang menyatakan kualitasnya.
HADITS PERTAMA
1. أَبْرِدُوْا بِالطَّعَامِ فَإِنَّ الْحَارَّ لاَ
بَرَكَةَ فِيْهِ
“Dinginkanlah makanan, sebab (makanan) yang panas itu tidak ada
berkahnya”
SUMBER HADITS:
Hadits tersebut diriwayatkan oleh ad-Daylamy dari Ibnu ‘Umar
KUALITAS HADITS:
Ini adalah ‘HADITS DLA’ÎF’ (Lemah)
Tentang kelemahan hadits ini juga disebutkan di dalam buku-buku berikut:
SUMBER HADITS:
Hadits tersebut diriwayatkan oleh ad-Daylamy dari Ibnu ‘Umar
KUALITAS HADITS:
Ini adalah ‘HADITS DLA’ÎF’ (Lemah)
Tentang kelemahan hadits ini juga disebutkan di dalam buku-buku berikut:
- al-Maqâshid al-Hasanah Fî Bayân Katsîr Min al-Ahâdîts al-Musytahirah ‘Alâ
al-Alsinah, karya Imam as-Sakhâwy, hal. 11
- Tamyîz ath-Thayyib min al-Khabîts Fî m6a yadûru ‘alâ Alsinah an-Nâs Min
al-Hadîts, karya ‘Abdurrahman bin ‘Aly bin ad-Dîba’, hal. 5
- Kasyf al-Khafâ’ wa Muzîl al-Ilbâs ‘Ammâ Isytahara Min al-Ahâdîts ‘Alâ
Alsinah an-Nâs, karya al-‘Ajlûny, Jld I, hal. 28
- Dla’îf al-Jâmi’ wa Ziyâdatuhu, karya Syaikh al-Albany, no. 37
Ada sementara orang yang memberikan nasehat agar jangan melumat makanan yang masih panas tetapi perlu ditunggu dulu hingga adem/dingin sehingga tidak membahayakan.
Bila sebatas alasan tersebut, maka tidak ada masalah selama tidak menggunakan hadits diatas sebagai dalilnya trus meyakininya. Realitasnya, ada sementara orang pula yang berdalih dengan hadits diatas bahwa makanan yang panas itu tidak memiliki BERKAH padahal kualitas hadits tersebut ‘DLA’IF alias LEMAH…
Para ulama sepakat bahwa HADITS DLA’IF tidak dapat dijadikan hujjah kecuali di dalam masalah ‘Fadlâ’-il al-A’mâl’ dimana mereka masih berselisih pendapat tentang ‘kebolehan’ menggunakan hadits DLA’IF terhadap masalah tersebut.
Pendapat yang rajih/kuat dan berkenan di hati adalah berlaku secara umum, artinya semua hadits DLA’IF tidak dapat dijadikan sebagai hujjah selama tidak ada pendukung lain yang menguatkan dan mengangkat statusnya.
(Diambil dari buku ‘ad-Durar al-Muntatsirah Fî al-Ahâdîts al-Musytahirah’, karya Imam as-Suyuthy, (tahqiq/takhrij hadits oleh Syaikh Muhammad Luthfy ash-Shabbagh), hal. 74, hadits no. 51 dengan beberapa penambahan)